Senin, 23 Februari 2015

SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN KEBUMEN



SISTEM PEMUNGUTAN PAJAK DAERAH DALAM ERA OTONOMI DAERAH DI KABUPATEN KEBUMEN


Tugas ini guna untuk memenuhi tugas civic education
Dosen Pembina : Drs.Tengku Muhammad Soleh ,M.SI




Disusun Oleh :
Nama : Maulianawati Khoeroh
Nim    : 133111164


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGRI SURAKARTA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
2013/2014

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Salah satu tujuan didirikannya Negara adalah untuk memberikan kesejahteraan bagi rakyatnya, meningkatkan harkat dan martabat rakyat untuk menjadi manusia seutuhnya.Demikian juga Negara Republik Indonesia sebagai negara merdeka dan berdaulat mempunyai tujuan dalam menjalankan pemerintahannya. Eksistensi kebijakan otonomi daerah sangat penting dipahami sebagai bagian dari agenda demokratisasi kehidupan bangsa. Dengan kata lain, keberadaan kebijakan otonomi daerah tidak boleh dipandang sebagai a final destination melankan sebagai mekanisme dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintah. Pajak Daerah sebagai salah satu sumber pendapatan daerah dari
pendapatan asli daerah, menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 bersambung dengan Pasal 158 ayat (1) Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004, ditetapkan dengan undang-undang, yangpelaksanaanya di daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah. Hal ini cukup menarik untuk diteliti, berkaitan dengan pengaturan sistem pemungutan pajak daerah apakah sudah sejalan dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang

B.Rumusan Masalah
1. Bagaimana dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah ?
2. Bagaimana sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah ?
3. Bagaimana konsistensi antara peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah?





C. Tujuan Penelitian
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
a. Untuk mengetahui dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah.
b. Untuk menganalisis sistem pemungutan pajak daerah dalam era
otonomi daerah.
c. Untuk menganalisis dan mempelajari konsistensi antara peraturan
daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundangundangan
di bidang pajak daerah..
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk keperluan yang bersifat teoritis terutama bagi kalangan akademis dan berguna untuk kepentingan yang bersifat praktis terutama bagi para pengambil kebijakan pemerintah.
a. Secara teoritis
Penelitian ini diharapkan memberi informasi dan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam Hukum Administrasi Negara khususnya Hukum Pajak.
b. Secara praktis
1) Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada masyarakat dan pemerintah daerah tentang pelaksaanaan sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah
2) Penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan bagi pemerintah daerah dan legislatif dalam merumuskan peraturan daerah yang menyangkut pajak daerah.
E. Krangka Pemikiran
Berdasarkan cara pemungutannya Pajak Daerah kabupaten/kota dibedakan menjadi 2 (dua) macam yaitu :
a. Pajak langsung adalah pajak-pajak yang bebannya harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada orang lain serta dikenakan secara berulang-ulang pada waktu-waktu tertentu, misalnya Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang bebannya dapat dilimpahkan kepada orang lain dan hanya dikenakan pada hal-hal tertentu atau peristiwa-peristiwa tertentu saja, misalnya Pajak Hotel,Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, PajakPengambilan dan Pengelolaan Bahan Galian Golongan C.
BAB II
TEORI DASAR
Pada hakekatnya pengertian pajak berbeda-beda tergantung dari sudut pandang mana kita memandang masalah pajak ini, namun substansi dan tujuannya sama. Sampai saat ini tidak ada pengertian pajak yang sifatnya universal, maka masing-masing sarjana yang melakukan kajian terhadap pajak memberikan pengertian sendiri.Para ahli dalam bidang perpajakan yang memberikan batasan atau definisi yang berbeda-beda mengenai pajak, namun demikian berbagai definisi tersebut mempunyai inti atau tujuan yang sama dan ada beberapa definisi yang diungkapkan oleh para pakar antara lain :
1. P.J.A. Adriani (pernah menjabat guru besar dalam hukum pajak pada Universitas Amsterdam, kemudian Pemimpin International Bureau of Fiscal Documentation, juga di Amsterdam) yang dalam R. Santoso Brotodihardjo, dikemukakan sebagai berikut
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,dengan tidak mendapat prestasi-kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaranpengeluaran
umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
2. Sommerfeld, memberikan pengertian bahwa pajak adalah uatu pengalihan sumber-sumber yang wajib dilakukan dari sektor swasta kepada sektor pemerintah berdasarkan peraturan tanpa suatu imbalan kembali yang langsung dan seimbang, agar pemerintah dapat
melaksanakan tugas-tugasnya dalam menjalankan pemerintahan.
3.Definisi Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong”, Universitas Padjadjaran, Bandung, 1964 dikatakan29 : Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum.



B. Asas dan Teori Pemungutan Pajak
Mengenai tujuan hukum pada umumnya, kita pernah mendengar ajaran berbagai sarjana, Aristoteles yang telah terkenal dalam bukunya, Rhetorica, menganggap bahwa hukum hertugas membuat adanya keadilan. Demikian pula dalam hukum pajak karena pada hakekatnya pajak merupakan peralihan kekayaan dari sektor swasta ke sektor negara, dan
dapat dipaksakan. Maka agar tidak menimbulkan perlawanan, pemungutan pajak harus memenuhi beberapa syarat antara lain :
1. Membuat adanya keadilan dalam soal pemungutan pajak (Asas
Keadilan)
Asas keadilan ini harus senantiasa dipegang teguh, baik dalam prinsipmengenai perundang-undangannya maupun dalam prakteknya seharihari.
lnilah sendi pokok yang seharusnya diperhatikan baik-baik oleh setiap negara untuk melancarkan usahanya mengenai pemungutan pajak. Maka dari itu, syarat mutlak bagi pembuat undang undang(pajak), juga syarat mutlak bagi aparatur setiap pemerintah yang menyatakan-keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya, antara lain :
1) Teori Asuransi (Verzeringstheory)
Teori ini menyatakan bahwa termasuk dalam tugas negara untuk melindungi orang dan segala kepentingannya: keselamatan dan keamanan jiwa, juga harta bendanya. Sebagaimana juga halnya dengan setiap perjanjian asuransi (pertanggungan), maka untuk perlindungan tersebut di atas diperlukan pembayaran premi, dan di dalam hal ini, pajak inilah yang dianggap sehagai preminya, yang pada waktu-waktu yang tertentu harus dibayar oleh masing-masing. Hal inilah yang menjadi kelemahan dari teori asuransi, karena:
a.       dalam hal timbul kerugian, tidak ada suatu penggantian dari negara,
b.       antara pembayanan jumlah-jumlah pajak dengan jasa-jasa yang diberikan oleh negara, tidaklah terdapat hubungan yang langsung,namun teori ini oleh para penganutnya dipertahankan, sekadar untuk memberikan dasar hukum kepada pemungutan pajak saja.Pembayaran pajak tidak dapat disamakan dengan pembayaran premi oleh seseorang kepada perusahaan pertanggungan.
2) Teori Kepentingan (Belangentheory)
Teori ini dalam ajarannya yang semula, hanya memperhatikan pembagian beban pajak yang harus dipungut dari penduduk seluruhnya. Pembagian beban ini harus didasarkan atas kepentingan orang masing-masing dalam tugas-tugas pemerintah (yang bermanfaat
baginya), termasuk juga perlindungan atas jiwa orang-orang itu beserta harta bendanya. Maka sudah selayaknya bahwa biaya-biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menunaikan kewajibannya, dibebankan kepada seluruh penduduk tersebut. Terhadap teori ini pun juga mulai ditinggalkan sebab dalam ajarannya pajak dikacaukan pula dengan retribusi. Hal ini menjadi sulit karena besar kecilnya kepentingan masyarakat dihubungkan dengan tugas atau jasa pelayanan negara.
3) Teori Kewajiban Pajak Mutlak atau Teori Bakti
Berlawanan dengan ketiga teori di atas, yang tidak mengutamakan kepentingan-kepentingan negara di atas kepentingan warganya, maka teori ini berdasarkan atas paham Organische Staatsleer, sehingga diajarkanlah olehnya bahwa justru karena sifat negara inilah maka timbullah hak mutlak untuk memungut pajak. Orang-orang tidak berdiri sendiri; dengan tidak adanya persekutuan, tidaklah akan ada individu. Oleh karenanya maka persekutuan itu (yang menjelma dalam negara) berhak atas satu dan lain. Rakyat harus sadar bahwa pembayaran
pajak sebagai suatu kewajiban asli untuk membuktikan tanda baktinya kepada negara dalam bentuk pembayaran pajak.
C. Teknik Pemungutan Pajak
Cara memungut pajak rnenurut Adriani dapat dibagi ke dalam tiga golongan:
1. Wajib pajak menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Contoh: PajakPenghasilan 1984. Cara pembayaran dapat dilakukan dengan:
a. Meterai
b. Pembayaran ke kas negara
Fiskus membatasi diri pada pengawasan, kadang-kadang insidental atau secara teratur.
2. Ada kerja sama antara wajib pajak dan Fiskus (tetapi kata terakhir ada pada Fiskus) dalam bentuk:
a. Pemberitahuan sederhana dari wajib pajak
b. Pemberitahuan yang lengkap dari wajib pajak
3. Fiskus menentukan sendiri (di luar wajib pajak) jumlah pajak yang terutang.
Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton dalam bukunya Hukum Pajak menyatakan bahwa pada dasarnya ada 3 (empat) macam sistem pemungutan pajak yaitu :
a. Official assessment system adalah suatu pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pemungut pajak (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang harus dibayar (pajak yang terutang) oleh seseorang.Dengan sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan
menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh Fiskus.Besarnya utang pajak seseorang baru diketahui setelah adanya surat ketetapan pajak.
b. Semi self assessment system adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang pada fiskus dan wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak seseorang yang terutang.Dalam sistem ini setiap awal tahun pajak Wajib Pajak menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang untuk tahun berjalan yang merupakan angsuran bagi Wajib pajak yang harus disetor sendiri. Baru kemudian pada akhir tahun pajak Fiskus menentukan besarnya uatang pajak yang sesungguhnya berdasarkan data yang dilaporkan oleh Wajib Pajak.
c. Self assessment system adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang penuh kepada wajib pajak untuk menghitung,memperhitungkan, menyetorkan, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajak.

d. Withholding system adalah suatu system pemungutan pajak yang memberi wewenang pada pihak ketiga untuk memotong/ memungut besarnya pajak yang terutang. Pihak ketiga yang telah ditentukan tersebut selanjutnya menyetor dan melaporkannya kepada fiskus. Pada sistem ini fiskus dan wajib pajak tidak aktif, fiskus hanya bertugas mengawasi saja pelaksanaan pemotongan/ pemungutan yang dilakukan oleh pihak ketiga.33 Pengertian pemungutan menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 1 angka 13, adalah :
Suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data obyek dan subyek pajak atau retribusi, Penentuan besarnya pajak atau retribusi yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak atu retribusi kepada Wajib Pajak atau Wajib Retribusi serta pengawasan penyetorannya.
D. Pajak Daerah
a. Pengertian Pajak Daerah
Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Pajak Daerah adalah “Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan
pembangunan daerah.” Apabila memperhatikan prinsip umum perpajakan yang baik
dengan bertitik tolak dengan pendapat Adam Smith dan ekonom-ekonom Inggris yang lain, maka menurut Musgrave haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :
a. Penerimaan/ pendapatan harus ditentukan dengan tepat;
b. Distribusi beban pajak harus adil artinya setiap orang harus dikenakan pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya;
c. Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak tersebut harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut akhirnya harus ditanggung.
d. Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimumkan terhadap keputusan perekonomian dalam hubungnnya dengan pasar efisien.
e. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebujakan fiskal untuk mencapai stabilitasi dan pertumbuhan ekonomi.
f. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas/ pasti serta harus dipahami oleh wajib pajak.
g. Biaya administrasi dan biaya-biaya lain harus serendah mungkin jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain.
Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah,pajak daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
1. Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi
2. Pajak Daerah yang dipungut oleh Kabupaten /kota
Perbedaan kewenangan pemungutan antara pajak yang dipungut oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yakni sebagai berikut :
1. Pajak provinsi kewenangan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah Provinsi, sedangkan untuk pajak kabupaten/kota kewenganan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
2. Objek pajak kabupaten/kota lebih luas dib.andingkan dengan objek pajak provinsi, dan objek pajak kabupaten/kota masih dapat diperluas berdasarkan peraturan pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang ada. Sedangkan pajak provinsi apabila ingin diperluas objeknya harus melalui perubahan dalam Undang-undang.
b. Jenis Pajak Daerah
Kriteria Pajak daerah secara spesifik dapat diuraikan dalam 4 hal yakni :
  1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan yang dilaksanakan oleh daerah itu sendiri;
2.Pajak yang dipungut berdasarkan pengaturan dari pemerintah pusat tetapi penetapan besarnya tarif pajak oleh pemerintah daerah;
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah itu sendiri;
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat,tetapi hasil pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah.
Selanjutnya Pajak Daerah saat ini yang hak kewenangan pemungutnya dapat diklasifikasikan menurut wilayah pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :
Pajak Daerah Provinsi, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah provinsi, terdiri dari :
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah Kabupaten/Kota, terdiri dari :
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Reklame;
d. Pajak Hiburan;
e. Pajak Parkir;
f. Pajak Penerangan Jalan;
g. Pajak Pengambilan dan Pengelohan Bahan galian Golongan C.
Tarif pajak Provinsi yang berlaku dalam rangka keseragaman akan diatur dalam suatu peraturan pemerintah. Sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang pajak daerah provinsi yang seragam ditentukan dalam suatu peraturan pemerintah. Dalam hal ini, yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.Sedangkan pajak daerah Kabupaten/Kota, khususnya yang menyangkut masalah tarif pajak Kabupaten/Kota ditentukan dalamPeraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan perlakuannya sama dengan tarif yang terdapat dalam Undang-undang pajak daerah. Tarif tersebut merupakan tarif tertinggi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/kota dalam pemungutan pajak daerah.
c. Obyek Pajak Daerah
Pajak dapat dikenakan dengan satu syarat mutlak yang harus dipenuhi adalah adanya objek pajak yang dimiliki atau dinikmati oleh wajib pajak. Pada dasarnya objek pajak merupakan manifestasi dari taatbestand (keadaan yang nyata). Dengan demikian, taatbestand adalah keadaan, peristiwa, atau perbuatan yang menurut peraturan perundangundangan pajak dapat dikenakan pajak. Kewajiban pajak dari seorang wajib pajak muncul (secara objektif) apabila ia memenuhi taatbestand. Tanpa terpenuhinya taatbestand tidak ada pajak terutang yang harus dipenuhi atau dilunasi. Ketentuan dalam Undang-undang No.18 Tahun 1997 maupun Undang-undang No.34 Tahun 2000 tidak secara tegas dan jelas
menentukan yang menjadi objek pajak pada setiap jenis pajak daerah. Penentuan mengenai objek pajak daerah terdapat pada Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
d.Subjek dan Wajib Pajak Daerah
Terminologi yang digunakan dalam Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah, yang dimaksud dengan :
1. Subjek Pajak adalah orang pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak daerah. Dengan demikian, siapa saja baik orang pribadi atau badan yang memenuhi syarat objeknya ditentukan dalam suatu peraturan daerah tentang pajak daerah, akan menjadi subjek pajak.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut peraturan perundang-undangan perpajakan daerah diwajibkan untuk melakukan pembayaran pajak yang terutang, termasuk pemungut atau pemotong pajak tertentu. Oleh sebab itu, seseorang atau suatu badan menjadi
wajib pajak apabila telah ditentukan oleh peraturan daerah untuk melakukan pembayaran pajak, serta orang atau badan yang diberi kewenangan untuk memungut pajak dari subjek pajak.
Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa wajib pajak dapat merupakan subjek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak maupun pihak lain, yang bukan merupakan subjek pajak, yang berwenang untuk memungut pajak dari subjek pajak.
E. Retribusi Daerah
a.Pengertian Retribusi Daerah
Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan Retribusi Daerah adalah : “Pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus diediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.”Pada dasarnya retribusi sama dengan pajak, yang membedakan adalah imbalan atau kontraprestasi dalam retribusi langsung dapat dirasakan oleh pembayar. Unsur-unsur yang melekat dalam retribusiantara lain :
1. Pungutan retribusi harus berdasarkan undang-undang;
2. Pungutannya dapat dipaksakan;
3. Pemungutannya dilakukan oleh Negara;
4. Digunakan sebagai pengeluaran masyarakat umum;
            b. Obyek Retribusi Daerah
Obyek Retribusi Daerah adalah berbagai jenis jasa tertentu yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Jenis jasa-jasa tertentu yang menurut pertimbangan sosial ekonomi layak untuk dijadikan obyek retribusi maka oleh Pemerintah Daerah dipungut retribusi. Jasa-jasa tersebut dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan, yakni :
1. Retribusi Jasa Umum, obyeknya adalah pelayanan yang disediakan oleh Pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
2. Retribusi Jasa Usaha, obyeknya adalah pelayanan yang diberikan oleh Pemerintah Daerah dengan menganut prinsip komersial.
3. Retribusi Perizinan Tertentu, obyeknya adalah kegiatan tertentu Pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang priadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan pengendalian dan pengawsan atas kegiatan pemanfaatan ruang,penggunaan sumber daya alam, barang prasarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
F. Negara Hukum dan Otonomi Daerah
1. Negara Hukum
Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia yang ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Republik Indonesia 1945 Perubahan ketiga tahun 2001 salah satunya adalah Negara Indonesia ialah Negara Hukum. Asas ini mengikat para pejabat negara dan seluruh rakyat Indonesia untuk menjunjung tinggi hukum yang berlaku. Tindakan yang sewenang-wenang tanpa mengindahkan hukum yang ada, tidak boleh dilakukan oleh siapapun juga. Hukum yang berlaku hendaknya dibuat sedemikian rupa sesuai dengan rasa keadilan dan rasa hukum masyarakat. 38 Dalam perkembangannya negara hukum memiliki unsur-unsur yang dikemukakan oleh Julius Stahl, antara lain sebagai berikut : 39
1) Sistem pemerintahan negara yang didasarkan atas kedaulatan rakyat
2) Bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perUndang-Undangan
3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara)
4) Adanya pembagian kekuasaan dalam negara
5) Adanya penggawasan dari badan-badan peradilan yang bebas dan mandiri, dalam arti lembaga peradilan tersebut benar-benar tidak memihak dan tidak berada di bawah pengaruh eksekutif
6) Adanya peran yang nyata dari anggota-anggota masyarakat atau Warga Negara untuk turut serta mengawasi perbuatan dan pelaksanaan kebijaksanaan yang dilakukan oleh pemerintah
7) Adanya sistem perekonomian yang dapat menjamin pembagian yang merata sumber daya yang diperlukan bagi kemakmuran warga negara.
2. Otonomi Daerah
Perkembangan masyarakat Indonesia dalam memasuki era globalisasi dan reformasi telah memberikan pengalaman yang cukup berarti, antara lain kebijaksanaan di daerah yang diputuskan dari pusat berdasarkan pendekatan “Top Down” sudah tidak sesuai lagi dengan keadaan di daerah, maka salah satu cara mengatasi ketidaksesuaian antara kebijaksanaan yang diputuskan dari pusat dan kondisi daerah adalah harus segera dibuat sebuah kerangka kebijaksanaan yang sangat strategis. Salah satu kebijaksanaan yang sangat strategis sesuai dengan kondisi saat ini adalah otonomi daerah.
Terdapat 3 (tiga) keuntungan yang dapat diperoleh dari kebijakandesentralisasi, yakni :
1. Memberikan peluang akses bagi Daerah setidaknya terhadap ketersediaan anggaran dalam APBN dan optimalisasi penerimaan Daerah;
2. Karena ingin mendekatkan kepada konstituen, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten berada pada posisi yang relative lebih baik daripada pemerintah Pusat dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas perpajakan pada sektor tertentu bagi perekonomian daerah;
3. Perlu diantisipasi adanya peningkatan akses kepada penerimaan daerah dan penguatan kewenangan perpajakan kepada Pemerintah      daerah dapat membantu meningkatkan mobilisasi sumber-sumber penerimaan daerah sejalan dengan meningkatnya penerimaan
perpajakan nasional.48,Sedangkan upaya yang paling dominan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga Pemerintah Daerah adalah dengan melakukan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah. Hal ini cukup menentukan kelangsungan hidup dan otonomnya daerah yang bersangkutan.

BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A.Gambaran Umum
          Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) meliputi : Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan dan Lain-lain
Pendapatan Daerah yang sah. Sumber pendapatan asli daerah terdiri atas hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Sebagaimana telah diterangkan diatas, bahwa pajak daerah
merupakan salah satu sumber PAD. yang kontribusinya sangat dominan di Kabupaten Kebumen.
Sedangkan Pajak Daerah yang dipungut di Kabupaten Kebumen meliputi :
1. Pajak Hotel, yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 15 Tahun 2002. Pajak Hotel adalah pajak yangdikenakan atas pelayanan yang disediakan hotel  denganpembayaran oleh orang pribadi atau badan.
2. Pajak Restoran, yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 16 Tahun 2002. Pajak Restoran adalah pajak yang dikenakan atas pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran oleh orang pribadi atau badan.
3. Pajak Hiburan, yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 17 Tahun 2002. Pajak Hiburan adalah pajak yang dikenakan atas penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran.
4. Pajak Reklame, yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 18 Tahun 2002. Pajak Reklame adalah pajak yang dikenakan atas semua penyelenggaraan reklame oleh orang pribadi atau badan.
5. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, yang diatur berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten



B. Hasil Penelitian dan Pembahasan
1. Dasar Hukum Sistem Pemungutan Pajak Daerah dalam Era
Otonomi
Setiap jenis pajak daerah yang diberlakukan di Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menjamin kelancaran pengenaan dan pemungutannya. Sesuai dalam penjelasan Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara RI 1945 sebelum amandemen ditegaskan, bahwa penetapan belanja mengenai hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, maka segala tindakan yang menempatkan beban kepada rakyat, seperti pajak dan lain-lainnya, harus ditetapkan dengan undang-undang, yaitu dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah harus didasarkan undang-undang. Pada awalnya, pajak daerah diatur dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 ini masih bernuansakan pada otonomi yang didasarkan pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Hal ini terlihat pada penjelasan umumnya pada alenia kedua disebutkan, bahwa : “Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah,pajak dan retribusi merupakan sumber pendapatan daerah agar Daerah dapat melaksanakan otonominya, yaitu mampu mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, di samping penerimaan yang berasal dari Pemerintah berupa subsidi/bantuan dan bagi hasil pajak dan bukan pajak.
Pajak daerah yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 34 Tahun
2000, meliputi :
1) Pajak Provinsi terdiri dari Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor, dan Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.
2) Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, dan Pajak Parkir.

Sesuai pasal 21 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 ditetapkan
sebagai berikut :
a. Untuk retribusi jasa umum berdasarkan kebijakan Daerah dengan mempertimbangkan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan masyarakat, dan aspek keadilan;
b. Untuk retribusi jasa usaha, berdasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang layak;
c. Untuk retribusi perizinan tertentu, berdasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan.
Substansi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dengan Undangundang Nomor 18 Tahun 1997 berbeda. Letak perbedaannya adalah dalam Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 dalam mengatur bidang perpajakan daerah menggunakan 2 (dua) sifat, ialah :
1) sifat sentralistik berarti bahwa penetapan objek pajak atau namanama pajak dan penetapan maksimal presentase tarif pajak daerah;
2) sifat desentralistik berarti bahwa dengan Peraturan Daerah dapat ditetapkan jenis pajak daerah Kabupaten/ Kota selain yang ditetapkan dalam pasal 2 ayat (2). Hal tersebut memberikan kesempatan kepada Kabupaten/Kota meningkatkan pendapatan
asli daerah dengan menciptakan landasan hukum pemungutan pajak daerah berdasarkan inisiatif daerah.
B. Sistem Pemungutan Pajak Daerah dalam Era Otonomi Daerah
Kewenangan pemungutan pajak daerah di Kabupaten Bogor dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 23 Tahun 2004. Berdasarkan peraturan daerah tersebut, Dinas Pendapatan Daerah merupakan unsur pelaksana pemerintah daerah yang mempunyai tugas membantu Bupati melaksanakan kewenangan pemerintah daerah di bidang pendapatan daerah dalam rangka pelaksanaan tugas desentralisasi dan tugas pembantuan.62 Dalam menyelenggarakan tugas tersebut, maka Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Bogor mempunyai fungsi :


(1)perumusan kebijakan teknis operasional bidang pendapatan daerah
(2) pengkoordinasian dan penyusunan rencana penerimaan pendapatan daerah;
(3) penggalian, peningkatan dan pengembangan sumber pendapatan daerah;
(4) penyelenggaraan pemungutan pajak daerah;
(5) pelaksanaan penagihan dan pengadministrasian penerimaan bagi hasil;
(6) pembinaan teknis pemungutan pendapatan asli daerah;
(7)pelaksanaan tugas pembantuan di bidang Pajak Bumi dan Bangunan;
(8)pengkoordinasian, monitoring, pengendalian, evaluasi, dan pelaporan pendapatan daerah;
(9) pengkoordinasian serta pelaksanaan penyuluhan dan sosialisasi di bidang pendapatan daerah;
(10) pembinaan terhadap UPTD;
(11) pelaksanaan ketatausahaan Dinas.
Menurut Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pasal 7 ayat
 pemungutan pajak daerah dilakukan dengan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Disini terlihat, bahwa ada 2 (dua) pilihan dalam pemungutan pajak, yaitu :
1. dilakukan dengan penetapan Kepala Daerah dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah
2. dibayar sendiri oleh Wajib Pajak dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan atau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan.
1. Bedasarkan Penetapan Bupati
Pemungutan berdasarkan penetapan Bupati merupakan salah satu alternatif dalam pemungutan pajak daerah disamping terdapat cara pemungutan lain, yaitu dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Dalam sistem pemungutan ini berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen tentang Pajak Daerah ditetapkan tahapannya sebagai berikut :
1) Pendaftaran dan Pendataan.Setiap wajib pajak dilakukan pendaftaran melalui pengisian formulir yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Pendaftaran dan pendataan ini dilakukan untuk mendapatkan data Wajib Pajak baik yang berdomisili di dalam maupun diluar wilayah Daerah, yang memiliki Objek Pajak di wilayah Daerah yang bersangkutan. Setelah pendaftaran dan pendataan ini dilakukan, proses selanjutnya kepada Wajib Pajak diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak untuk memudahkan dalam pelayanan kepada Wajib Pajak. Selanjutnya ditekankan di dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen tentang Pajak Daerah, bahwa setiap wajib pajak mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah dan harus disampaikan kepada Bupati atauPejabat paling lama 10 (sepuluh) hari setelah berakhirnya masa pajak.
2) Perhitungan dan Penetapan Pajak Daerah. Dalam pemungutan pajak daerah berdasarkan penetapan Kepala Daerah, setelah dilakukan pendaftaran dan pendataan kepada wajib pajak dengan mengisi Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, maka pada Bab
Perhitungan dan Penetapan, pada Bagian Perhitungan dan Penetapan Pajak terutang oleh Pejabat di tegaskan sebagai berikut : “Dalam hal wajib pajak tidak memperhitungkan dan menetapkan sendiri pokok pajak terutang … atau sampai dengan 10 (sepuluh) hari sejak berakhirnya masa pajak wajib pajak belum menyampaikan SPTPD,maka Bupati atau pejabat menetapkan pajak terutang dengan menerbitkan
SKPD.” Dari kutipan tersebut dapat diartikan, bahwa wajib pajak tidak memperhitungkan dan menetapkan sendiri pokok pajak terutang, berarti bahwa wajib pajak tidak mengisi SPTPD yang disediakan oleh Pemerintah Daerah. Selanjutnya dalam batasan sampai dengan 10 hari sejak berakhirnya masa pajak, wajib pajak belum menyampaikan SPTPD,maka tehadap hal tersebut oleh Bupati diterbitkan SKPD sebagai dasar dalam pemungutan pajak daerah. Apabila Surat Ketetapan Pajak Daerah
tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu paling lama 20 hari sejak Surat Ketetapan Pajak Daerah diterima, maka kepada Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan dan ditagih dengan menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah.
3) Pembayaran.
Pembayaran pajak daerah harus dilakukan sekaligus atau lunas,namun demikian Wajib Pajak dapat melakukan penundaan pembayaran atau angsuran pembayaran setelah memenuhi persyaratan yang ditentukan.Penundaan pembayaran dapat diberikan persetujuan kepada Wajib Pajak sampai pada batas waktu tertentu dengan dikenakan bunga 2% sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang
dibayar.70 Sedangkan angsuran pembayaran pajak harus dilakukan
secara teratur dan berturut-turut dengan dikenakan bunga sebesar 2 % sebulan dari jumlah pajak yang belum atau kurang dibayar.
4) Penagihan Pajak.
Penagihan pajak daerah adalah serangkaian kegiatan pemungutan pajak daerah, yang diawali dengan penyampaian Surat Teguran, Surat Peringatan, atau surat lain yang sejenis sampai dengan penyampaian Surat Paksa kepada Wajib Pajak agar wajib pajak yang bersangkutan melaksanakan kewajiban untuk membayar pajak sesuai dengan pajak yang terutang. Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis tersebut oleh Bupati atau Pejabat (pegawai yang diberi tugas tertentu dibidang perpajakan daerah sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku) dikeluarkan 7 hari sejak saat jatuh tempo pembayaran dan kepada Wajib Pajak harus melunasi pajak terutang dalam jangka waktu 7  hari setelah tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis tersebut.
 Apabila pajak terutang tidak juga dalam jangka waktu yang telah ditentukan tersebut, maka pajak terutang ditagih dengan mengeluarkan Surat Paksa setelah lewat waktu 21 hari sejak tanggal Surat Teguran atau Surat Peringatan atau surat lain yang sejenis. Dalam jangka waktu 2 kali 24 jam sesudah tanggal pemeberitahuan Surat Paksa pajak terutang tidak dibayar, Pejabat diberikan kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Melaksanakan  Penyitaan.
Dalam jangka waktu 10 hari sejak tanggal pelaksanaan Surat Perintah melaksanakan Penyitaan pajak terutang tidak dibayar oleh Wajib Pajak, maka Pejabat mengajukan permintaan kepada Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara untuk menetapkan tanggal pelelangan.Setelah ditetapkan tanggal pelelangan, Juru sita memberitahukan secara tertulis kepada Wajib Pajak.
5) Pengurangan, Keringanan dan Pembebasan Pajak. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 170 Tahun 1997 tentang Pedoman Tata Cara Pemungutan Pajak Daerah mengatur, bahwa Kepala Daerah berdasarkan permohonan Wajib Pajak dapat memberikan pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak. Bagaimana tata cara pemberian pengurangan, keringanan dan pembebasan pajak tersebut ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala Daerah.
6) Pembetulan, Pembatalan, Pengurangan Ketetapan, dan Penghapusan atau Pengurangan Sanksi Administrasi.
Pembetulan Surat Ketetapan Pajak Daerah dapat dilakukan oleh Kepala Daerah apabila yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah. Ketetapan pajak yang tidak benar dapat pula dibatalkan atau dikurangkan oleh Kepala Daerah. Demikian pula berkaitan dengan sanksi administrasi berupa bunga, denda dan kenaikan pajak yang terutang dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan wajib pajak atau bukan karena kesalahannya, Kepala Daerah diberikan kewenangan untuk mengurangkan atau menghapuskan.
Pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas Surat Ketetapan Pajak Daerah ini merupakan kewenangan Kepala Daerah atau Pejabat setelah adanya pelaksanaan hak dari Wajib Pajak, yaitu hak untuk dapat dilakukan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas Surat Ketetapan Pajak Daerah.
Pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi atas Surat Ketetapan Pajak Daerah, oleh Wajib Pajak permohonan harus disampaikan secara tertulis kepada Kepala Daerah atau Pejabat selambat-lambatnya 30 hari sejak tanggal diterima Surat Ketetapan Pajak Daerah, dengan memberikan alasan yang jelas.Dalam jangka waktu paling lama 3 (tiga) bulan sejak diterimanya surat permohonan dari Wajib Pajak, Kepala Daerah atau Pejabat sudah harus memberikan keputusan. Apabila tidak memberikan keputusan, maka permohonan pembetulan, pembatalan, pengurangan ketetapan dan penghapusan atau pengurangan sanksi administrasi dianggap dikabulkan.


7) Keberatan dan Banding.
Wajib Pajak diberikan hak oleh Pasal 20 ayat (1) huruf a untuk mengajukan keberatan kepada Kepala Daerah atau pejabat atas Surat Ketetapan Pajak Daerah. Dalam mengajukan keberatan tersebut oleh ayat (2)-nya dipersyaratkan adanya alasan yang jelas atas keberatan terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah. Alasan tidak perlu disampaikan oleh Wajib Pajak, apabila dapat menunjukkan bukti bahwa jangka waktu itu tidak dapat dipenuhi karena keadaan diluar kekuasaanya. Ini berarti, bahwa keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak terhadap Surat Ketetapan Pajak Daerah hanya dilakukan berkaitan dengan masa pembayaran pajak, bukan berkaitan dengan besarnya pajak terutang sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Daerah.
2. Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak
Sebagaimana telah diuraikan diatas, bahwa dalam pemungutan pajak daerah dikenal adanya pemungutan berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh Wajib Pajak. Dalam sistem pemungutan dimana Wajib Pajak membayar sendiri adalah pengenaan pajak yang memberikan kepercayaan kepada Wajib Pajak untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah. Dalam sistem pemungutan jenis ini yang aktif adalah Wajib Pajak, sedangkan Fiskus (pihak Pemerintah Daerah) bersifat pasif. Pada setiap masa pajak, Wajib Pajak diberikan kewajiban untuk melaporkan
pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah. Apabila Wajib Pajak yang diberikan kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutang tidak memenuhi kewajibannya, oleh Kepala Daerah dapat diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar dan Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan yang menjadi sarana penagihan.
            Berdasarkan uraian tersebut diatas, pelaksanaan sistem pemungutan pajak daerah di Kabupaten Kebumen selain berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dikenal sebagai cara official assessment system juga dengan cara dibayar sendiri oleh Wajib Pajak atau dikenal sebagai cara self assessment system. Namun dalam sistem pemungutan pajak yang terdapat dalam perpajakan di Indonesia, masih terdapat satu
sistem lagi sistem pemungutan pajak yakni with holding system. Mekanisme dalam with holding system menyatakan bahwa sistem pemungutan pajak untuk menentukan besarnya pajak yang terutang ditentukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk oleh pejabat. Sehingga fiskus maupun wajib pajak bersifat pasif. Pihak ketiga melakukan pemotongan, penyetoran dan pelaporan pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Demikian juga di Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen yang pada pelaksanaan mekanisme pemungutan sebenarnya menggunakan with holding system, seperti pajak penerangan jalan, yakni pihak Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai penyelenggara pengadaan listrik bertindak sebagai pihak ketiga yang melakukan pemotongan/ pemungutan pajak. Dalam hal ini terdapat kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen dengan PLN, khusus untuk Pajak Penerangan Jalan yang
bersumber dari PLN. Saat ini Wilayah Daerah Kabupaten Kebumen di layani oleh 1  Distribusi Jakarta dan Tangerang, dan 2  Area Pelayanan dan Jaringan (APJ) PT. PLN, yaitu APJ Depok dan APJ Kebumen.
            C.Konsistensi antara peraturan daerah yang mengatur pajak daerah dengan peraturan perundang-undangan di bidang pajak daerah
Menurut Mansury dalam bukunya Panduan Konsep Umum Pajak Penghasilan Indonesia mengemukakan bahwa dalam sistem perpajakan terdapat 3 (tiga) unsur pokok, yakni : Kebijakan Perpajakan (Tax Policy), Undang-undang Perpajakan (Tax Laws), Administrasi Perpajakan (TaxAdministration).
Unsur-unsur tersebut saling terkait antara satu dengan yang lain dan terjadi proses sesuai dengan urutan sebagai kebijaksanaan pemerintah. Sehingga sebagai sebuah kebijaksanaan pemerintah, sistem perpajakan merupakan sesuatu yang dipilih oleh pemerintah yang ditetapkan secara tegas dalam peraturan perundang-undangan, antara lain meliputi : pajak yang akan dipungut, siapa yang akan dijadikan subjekpajak, apa saja yang merupakan objek pajak, berapa besar tarif pajak,
bagaimana prosedurnya.

Apabila ditetapkan dalam bentuk undang-undang, kebijaksanaan perpajakan akan dikelompokkan dalam hukum pajak materiil dan hukum pajak formil yang keduanya saling berkaitan. Hukum pajak materiil memuat tentang segala sesuatu tentang timbulnya, besar dan hapusnya hutang pajak dan hubungan hukum antara pemerintah dan wajib pajak, sedangkan hukum pajak formil memuat tata cara penyelenggaraanpenetapan suatu hutang pajak, pengawasan pemerintah terhadap penyelenggaraannya, kewajiban pihak ketiga dan prosedurnya.
Prosedur pelaksanaannya meliputi administrasi pajak, tata cara pemungutan yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban wajib pajak maupun aparatur pajak.
Peraturan-peraturan dapat dianalisis menggunakan 3 (tiga) elemen yaitu :
1. Pembenaran (Warrant)
Merupakan suatu asumsi di dalam kebijakan yang memungkinkan analisis untuk berpindah dari informasi yang relevan dengan kebijakan ke klaim. Kebijakan pembenaran dapat mengandung berbagai asumsi otoritatif, analisentris, kausal, pragmatis dan kritik nilai, peranan dan pembenaran adalah untuk membawa informasi yang relevan dengan kebijakan/ kepada klaim kebijakan tentang terjadinya ketidaksepakatan atau konflik dengan demikian memberi suatu alasan untuk menerima
klaim.
2. Dukungan (Backing)
Dukungan bagi pembenaran terdiri dari asumsi-asumsi tambahan atau argumen yang dapat digunakan untuk mendukung pembenaran yang tidak diterima pada nilai yang tampak dukungan terhadap pembenaran dapat mengambil berbagai macam bentuk yaitu hukumhukum ilmiah dengan pertimbangan.
3. Bantahan (Rebutal)
Bantahan merupakan kesimpulan-kesimpulan yang kedua asumsi atau argumen yang menyatakan kondisi dimana klaim dapat diterima pada derajat penerimaan tertentu secara keseluruhan klaim kebijakan yaitu kebijakan ketidaksepakatan di antara segmen-segmen yang berbeda dalam masyarakat terhadap serangkaian alternatif tindakan pemerintah. Pertimbangan terhadap bantahan-bantahan membantu analisis sistematis untuk mengkritik salah satu klaim asumsi dan argumennya.
Ketiga konsep tersebut dapat digunakan untuk menganalisis peraturan-peraturan tentang pajak daerah dan retribusi daerah,pembenaran sebagai kekuatan untuk berperannya suatu perundangundangan dengan mengkaji ulang dan mengamati subtansial Undangundang secara keilmuan dan tidak bertentangan dengan rasa keadilan, ketertiban umum dan susila sehingga suatu peraturan itu dapat dibenarkan. Dukungan yang diberikan kepada suatu peraturan untuk menjamin berlakunya suatu peraturan dapat diterima oleh masyarakat, sedangkan bantahan akan diungkapkan melalui pengamatan dan penelitian terhadap kinerja peraturan perundang-undangan serta permasalahan yang timbul di dalam masyarakat setelah peraturan perundang-undangan diberlakukan.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pembahasan penelitian dan analisa Sistem Pemungutan Pajak Daerah dalam Era Otonomi Daerah (Studi Kasus di Kabupaten Kebumen) sebagaimana yang telah diuraikan pada Bab I sampai Bab III sebelumnya, maka dalam Bab Penutup ini disimpulkan sebagai berikut :
1. Setiap jenis pajak daerah yang diberlakukan di Indonesia harus mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menjamin kelancaran pengenaan dan pemungutannya. Sesuai dengan amanat Pasal 23A UUD Negara RI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa segala pajak untuk kegunaan kas Negara berdasarkan undang-undang sehingga tidak mungkin Negara memungut pajak dari rakyat tanpa adanya undang-undang. Dasar hukum sistem pemungutan pajak daerah dalam era otonomi daerah antara lain :
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
b. Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah
c. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang Sistem dan Prosedur Administrasi Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penerimaan Pendapatan Lain-lain.
2. Sistem pemungutan pajak daerah yang kewenangan pemungutan pajak daerah di Kabupaten Kebumen dilaksanakan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kebumen. Peraturan perundangundangan tentang pajak daerah tersebut, mengatur pemungutan pajak daerah dapat digunakan sistem pemungutan berdasarkan penetapan Kepala Daerah (Bupati) atau Wajib Pajak membayar sendiri. Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Kebumen dalam melaksanakan pemungutan pajak daerah sudah mengelompokkan berdasarkan jenis pajak yang ada di Kabupaten Bogor.
a. Pajak Daerah yang pemungutannya berdasarkan penetapan Bupati, yakni : Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan Non PLN dan Pajak Sarang Burung Walet.
b. Pajak Daerah yang pemungutan wajib pajak membayar sendiri, yakni : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan dan Pajak Parkir.
Khusus untuk Pajak Penerangan Jalan yang bersumber dari PLN, pemungutan dilakukan kerjasama antara Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen dengan PT. PLN. Dalam pemungutan pajak daerah,sebagai awal pelaksanaan pemungutan dilakukan pendaftaran dan pendataan dengan menggunakan media Surat Pemberitahuan Pajak Daerah. Setelahnya itu, bagi wajib pajak yang membayar sendiri Surat Pemberitahuan Pajak Daerah digunakan sebagai sarana dalam penyetoran pajak terutang. Sedangkan untuk pemungutan yang didasarkan pada penetapan Kepala Daerah/Bupati, Surat Pemberitahuan Pajak Daerah digunakan sebagai dasar dalam menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Daerah.
B. Saran
Sejalan dengan hasil uraian pembahasan dan kesimpulan sebagaimana digambarkan di atas, maka penulis dapat menyampaikan saran sebagai berikut :
1. Dalam meningkatkan pemahaman wajib pajak daerah maupun masyarakat terhadap aturan-aturan pelaksana pemungutan pajak daerah, hendaknya dilakukan sosialisasi atas aturan-aturan pendukung pemungutan pajak daerah secara berkesinambungan dengan metode dan bentuk sosialisasi yang tepat, sehingga menciptakan pemahaman yang utuh atas substansi dari ketentuanketentuan yang telah dirumuskan.
2. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor mengenai pajak daerah perlu menegaskan sistem pemungutannya pada setiap jenis pajak daerah. Pemungutan pajak daerah yang dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah dengan menugaskan pegawai untuk melakukan pendaftaran dan pendataan langsung terhadap obyek pajak daerah diluar prosedur administrasi pemungutan pajak daerah, kurang tepat karena akan menimbulkan kerawanan terhadap besarnya pajak terutang.
3. Perlunya merevisi Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah disesuaikan dengan dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Antara
lain berkaitan dengan :
a. Pajak dan Retribusi Daerah ditetapkan secara limitatif oleh Undangundang agar daerah tidak terlalu kreatif dalam membentuk pajak atau retribusi daerah, yang pada akhirnya akan menimbulkan ekonomi biaya tinggi.
b. Dikecualikan untuk potensi daerah-daerah tertentu yang mempunyai nilai ekonomis cukup tinggi untuk meningkatkan pendapatan asli daerah, dapat dijadikan pajak daerah tetapi dengan parameter yang jelas serta persyaratan yang ketat..
c. Tarif pajak dan retribusi dipertimbangkan kembali agar tidak menimbulkan biaya tinggi sebagaimana diamanatkan dalam pasal 7ayat (2) Undang-Undang No. 33 Tahun 2004. Di samping itu meningkatkan tarif pajak dan retribusi belum tentu akan berdampak pada peningkatan PAD. Peningkatan tarif dapat dipertimbangkan untuk Pajak daerah dan Retribusi Daerah yang mempunyai tingkat eksternalitas negatif yang tinggi misalnya tarif atas pajak hiburan yang menjurus kepada kemaksiatan.

DAFTAR PUSTAKA

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2007.
Erly Suandi, Hukum Pajak, Salemba Empat, , Jakarta, 2000.
Hanif Nurcholis, Teori dan Praktik Pemerintahan dan Otonomi Daerah,
Gramedia, Jakarta, 2007.
Haula Rosdiana dan Rasin Tarigan, Perpajakan Teori dan Aplikasi, Jakarta
: PT. Raja Grafindo Persada,2005
H.A.W. Widjaja, Otonomi Daerah dan Daerah Otonomi, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2002.
Iskandar, Rusli K, Dalam SF. Marbun dkk. Dimensi-Dimensi Pemikiran
Hukum Administrasi Negara. UII Press.Yogyakarta,2001.
Jajat Djuhadiat S, Modul DPT III Pengantar Hukum Pajak, (Jakarta :
Departemen Keuangan-BPLK, 1993).
James A. Black dan Dean J. Champion, Metode dan Masalah Penelitian
Sosial, PT. Refika Aditama, Bandung, 1999.
K.J Davey, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, UI-Press, Jakarta, 1988.
Machfud Sidik, Makalah Seminar Nasional, Desentralisasi Fiskal,
Kebijakan, Implementasi dan Pandangan ke Depan Perimbangan
Keuangan Pusat dan Daerah, Yogyakarta, 20 April 2002.
Marihot P. Siahaan, Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006.
Mashuri Maschab, Sistem Pemerintahan Indonesia (Menurut UUD 1945),
Bina Aksara, Jakarta, 1988.
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, edisi Indonesia, Analisa Data
Kualitatif Tentang Sumber Metode-metode Baru, UI Press, Jakarta,
1992.
Muqodim, Perpajakan Buku Satu, UII Press, yogyakarta, 1999.
Mustaqiem, Pajak Daerah dalam Transisi Otonomi Daerah, FH UII Press,
2008.
   Foto ini diambil dar salah seorang mahasiswa di STAN jurusan perpajakan.Namun tak banyak saya mengambil tinjauan dari beliau,karna setatusnya sebagai mahasiswa membuat saya tidak terlalu mengintikan narasumber dari studi kasus yang saya buat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar