Kamis, 26 Februari 2015

makalah pelyanan anak berkesulitan belajar



PELAYANAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Tugas ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Psikologi Pendidikan
Dosen Pengampu : fetty

Disusun Oleh:

Burhanuddin S            (133111174)




PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA

ISI DAN GAMBARAN UMUM DARI PELAYANAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR

A.    KECENDERUNGAN MODEL PELAYANAN DI INDONESIA
            Ada beberapa kecenderungan terkait dengan model pelayanan pendidikan di Indonesia yaitu:
1.      Model Pendidikan Terpadu
Pendidikan terpadu adalah pelayanan pendidikan bagi peserta didik berkebutuhan khusus reguler. Pelaksanaan pendidikan terpadu membutuhkan bantuan tenaga khusus berkualifikasi PLB. Melalui pendidikan terpadu, praktek di lapangan bentuk integrasi pendidikan masih bersifat fisik, sedangkan integrasi instruksional melalui pelayanan yang sesuai dengan kebutuhan individual belum dapat dijalankan. Untuk menngatasi kekurangan tersebut, maka muncul model ‘mainstreaming’.
2.      Model Pendidikan Mainstreaming
Konsep mainstreaming menghendaki agar integrasi pendidikan bagi ABK mencakup integrasi sosial dan instruksional didasarkan pada kkebutuhan pendidikan yang diukur secara individual dan profesional oleh berbagai profesi dan disiplin. Penempatan pendidikan ABK dalam model ini menjadi sangat fleksibel dari lingkungan pendidikan yang sangat terbatas seperti asrama, sampai lingkungan yang tidak terbatas seperti kelas biasa atau kelas reguler.
3.      Model Inklusi
Model ini menekankan pada keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip ‘education for all’. Sekolah yang menyelenggarakan program pendidikan inklusi, perlu dibantu tenaga khusus berkualifikasi PLB.
           
Dari ketiga model pelayanan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas, maka pilihan penempatan disesuaikan dengan kondisi dan potensi lapangan. Tipe pemilihan penempatan anak berkesulitan belajar adalah:
1.      Kelas Reguler ( General education Class)
Sistem pelayanan dalam bentuk kelas reguler dimaksudkan untuk mengubah citra tentang adanya dua tipe anak, anak dengan berkesulitan belajar dan tidak berkesulitan belajar. Dalam kelas reguler yang dirancang untuk membantu anak berkesulitan belajar diciptakan suasana belajar kooperatif sehingga semua anak dapat menjalin kerjasama dalam mencapai tujuan belajar. Suasana belajar kompetitif dihindari agar anak berkesulitan belajar tidak putus asa. Program penndidikan individual diberikan kepada semua anak yang membutuhkan, baik yang berkesulitan maupun yang memiliki keunggulan. Dalam kelas reguler semacam ini berbagai metode untuk berbagai jenis anak digunakan bersama.
Sistem pelayanan dalam bentuk kelas reguler memiliki banyak keunggulan sekaligus banyak kelemahan. Keunggulannya antara lain:
a.       Anak berkesulitan belajar akan menggunakan anak tidak berkesulitan belajar sebagai model perilaku.
b.      Mengelola anak berkesulitan belajar di kelas reguler lebih murah daripada menyediakan pelayanan dan situasi khusus.
c.       Anak yang tidak berkesulitan belajar dapat lebih memahami tentang adanya perbedaan antara individu; dan
d.      Guru reguler dimungkinkan untuk menjadi lebih dapat menyesuaikan pembelajarannya dengan karakteristik individual semua anak.

Adapun kelemahan sistem ini antara lain adalah:
a.       Anak berkesulitan belajar kurang memperoleh pelayanan individual
b.      Anak masih munggkin memperoleh cap negatif dari anak yang tidak memiliki kesulitan dalam belajar
c.        Anak mungkin akan sering gagal karena sulitnya bahan pelajaran dan tugas-tugas
d.      Anak akan dirugikan karena tidak memperoleh pelayanan pendidikan khusus yang sistematis dan latihan keterampilan dasar yang cukup
e.       Semangat juang guru kelas atau guru reguler mungkin akan terpengaruh secara negatif karena banyak diantara mereka yang tidak dipersiapkan untuk melayani anak berkesulitan belajar.


2.      Kelas Khusus ( Special Class )
Sistem ini biasanya menampung antara 10 hingga 20 anak berkesulitan belajar dibawah asuhan seorang guru khusus. Ada dua jenis kelas khusus yang biasa digunakan yaitu:
a)      kelas khusus sepanjang hari belajar, dan
b)      kelas khusus untuk mata pelajaran tertentu atau kelas khusus sebagian waktu.
Dalam kelas khusus sepanjang hari belajar, anak-anak berkesulitan belajar dilayani oleh guru khusus. Anak-anak di kelas ini belajar semua jenis mata pelajaran dan hanya berinteraksi dengan anak-anak lain yang juga berkesulitan belajar pada saat jam istirahat dan atau bermain. Sistem pelayanan ini tergolong yang paling bersifat membatasi pergaulan antara anak berkesulitan belajar dengan yang tidak dalam sistem pendidikan integratif.
Keuntungan dari bentuk kelas khusus yaitu:
a.       Pembelajaran menjadi efisien karena pengelompokannya
b.       Anak berkesulitan belajar memperoleh lebih banyak pelayanan yang bersifat individual
Adapun kelemahan dari bentuk ini yaitu:
a.       Anak berkesulitan belajar sering memperoleh cap atau label negatif yang dapat menganggu kepercayaan diri, penolakan dari teman, perolehan pekerjaan di masa depan, sikap negatif dari keluarga, dan harapan untuk berhasil yang rendah dari guru;
b.      Anak berkesulitan belajar cenderung hanya dapat berkomunikasi dengan sesama mereka.
3.      Ruang Sumber ( Resource Room)
Ruang sumber merupakan ruang yang disediakan oleh sekolah untuk memberikan pelayanan pendidikan khusus bagi anak-anak yang membutuhkan, terutama yang berkesulitan belajar. Di dalam ruang sumber terdapat guru remedial atau guru sumber dan berbagai media belajar. Aktivitas utama dalam ruang sumber umumnya berkonsentrasi pada upaya memperbaiki keterampilan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung. Guru sumber diharapkan dapat menjadi pengganti guru kelas dan menjadi konsultan bagi guru reguler.
Sistem pelayanan dalam bentuk ruang sumber memiliki keunggulan yaitu:
a.       Anak memerlukan bantuan khusus di bidang akademik atau sosial  memperoleh bantuan dari guru yang terlatih
b.      Anak berkesulitan belajar tetap berada di kelas reguler sehingga dapat bergaul dengan anak yang tidak berkesulitan belajar.
Adapun kekurangan dari bentuk layanan ini yaitu:
a.       Banyak waktu terbuang untuk pindah dari kelas reguler ke ruang sumber dan sebaliknya.
b.      Mengurangi kemampuan guru kelas atau guru reguler dalam menangani anak secara individual.
c.       Meningkatkan kemungkinan terjadinya ketidakajegan pendekatan pembelajaran
d.      Meningkatkan jumlah spesialis yang bekerja untuk anak yang dapat menimbulkan pelayanan yang terpecah-pecah
e.        Dapat menimbulkan konflik antara kebutuhan kelompok dan kebutuhan individual.

KHASUS PELAYANAN ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Oleh : SRI LESTARI A, SE
GURU BK  SMA NEGERI 2 JAYAPURA
http://bintangpapua.com/images/stories/2013/JANUARI/16/ibu.jpgAktifitas belajar bagi setiap individu, tidak selamanya dapat berlangsung secara wajar. Kadang-kadang lancar, kadang-kadang tidak, kadang-kadang dapat cepat menangkap apa yang dipelajari, kadang-kadang terasa amat sulit. Dalam hal semangat, terkadang semangatnya tinggi, tetapi juga sulit untuk mengadakan konsentrasi. Demikian kenyataan yang sering kita jumpai pada setiap anak didik dalam kehidupan sehari-hari dalam kaitannya dengan aktifitas belajar. Setiap individu memang tidak ada yang sama. perbedaan individu ini pulalah yang menyebabkan perbedaan tingkah laku dikalangan anak didik. dalam keadaan di mana anak didik / siswa tidak dapat belajar sebagaimana mestinya, itulah yang disebut dengan kesulitan belajar.
Kesulitan belajar merupakan kekurangan yang tidak nampak secara lahiriah. Ketidak mampuan dalam belajar tidak dapat dikenali dalam wujud fisik yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami masalah kesulitan belajar. Kesulitan belajar ini tidak selalu disebabkan karena factor intelligensi yang rendah (kelaianan mental), akan tetapi dapat juga disebabkan karena faktor lain di luar intelligensi. Dengan demikian, IQ yang tingi belum tentu menjamin keberhasilan belajar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kesulitan belajar adalah suatu kondisi proses belajar yang ditandai hambatan-hambatan tertentu dalam mencapai hasil belajar.
Masalah belajar yang sering timbul dikalangan peserta didik, misalnya  masalah pengaturan waktu belajar, memilih cara belajar yang efektif dan efisien, menggunakan buku-buku referensi, cara belajar kelompok, bagaimana mempersiapkan diri mengahadapi ujian, memilih jurusan atau mata pelajaran yang cocok dengan minat bakat yang dimilikinya, dari masalah-masalah tersebut dapat diatasi dengan program pelayanan bimbingan dan konseling untuk membantu para peserta didik agar mereka dapat berhasil dalam belajar.
Dalam belajar mengajar guru/pendidik sering menghadapi masalah adanya peserta didik yang tidak dapat mengikuti pelajaran dengan lancar, ada siswa yang meperoleh prestasi belajar yang rendah, meskipun telah diusahakan untuk belajar dengan seabaik-baiknya, guru atau pendidik sering menghadapi dan menemukan peserta didik yang mengalami kesulitan dalam belajar, untuk menghadapi peserta didik yang kesulitan belajar, pemahaman utuh dari guru tentang kesulitan belajar yang dialami oleh peserta didiknya, merupakan dasar dalam usaha memberikan bantuan dan bimbingan yang tepat.Kesulitan belajar yang dialami peserta didik itu akan termanifestasi dalam berbagai macam gejala, misalnya menunjukan hasil belajar yang rendah, hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang dilakukan, lambat dalam melakukan tugas-tugas belajar, menunjukan sikap yang kurang wajar, menunjukan tingkahlakuyangberkelaianan.
ANALISIS TERHADAP KASUS
Melalui pelayanan bimbingan dan konseling diharapkan siswa dapat mengalami perkembangan yang optimal baik secara akademis, psikologis dan sosial. Perkembangan yang optimal secara akademis diharapkan peserta didik mampu mencapai prestasi belajar yang baik dan optimal sesuai dengan kemampuan, perkembangan yang optimal ditandai dengan perkembangan kesehatan yang memadai, sedangkan perkembang optimal dari segi sosial bertujuan agar setiap peserta didik dapat mencapai penyesuaian diri dan memiliki kemampuan sosial yang optimal.
Dari uraian di atas telah jelas diuraikan bahwa Guru bimbingan dan konseling sangat diperlukan di  sekolah karena untuk mengatasi kesulitan-kesulitan belajar siswa, sehingga siswa dapat meperoleh prestasi yang baik. Dengan perolehan prestasi yang baik maka  tujuan  pendidikan  nasional  akan tercapai, dan juga dapat berguna bagi kehidupan sehari-hari yang bahagia dengan ilmu-ilmu yang dimilikinya.
Adapun masalah-masalah kesulitan belajar yang di alami individu/siswa adalah :
1.      Merasa kurang senang terhadap mata pelajaran tertentu
Tidak adanya minat seorang anak terhadap suatu pelajaran, akan menimbulkan kesulitan belajar yang tidak ada minatnya, mungkin tidak sesuai dengan bakatnya sesuai dengan kecakapannya, tidak sesuai dengan type-typenya khusus anak akan banyak menimbulkan problema pada diri anak, karena hal itu, pelajaran tidak dapat dicerna/diproses dalam otak, akibatnya timbul kesulitan yang kesemuanya itu timbul karena tidak adanya minat pada anak tersebut.
2.      Merasa sulit memahami mata pelajaran
Anak yang IQ-Nya tinggi dapat menyelesaikan segala persoalan yang dihadapi. Anak yang normal  (90-110) dapat menamatkan Sekolah  tepat pada waktunya. Mereka yang memiliki IQ antara 110-140 dapat digolongkan anak yang cerdas dan memiliki IQ 140 keatas, tergolong genius, golongan ini mempunyai potensi untuk dapat menyelesaikan pendidikan di Perguruan Tinggi, jadai semkin tingginya IQ-nya seseorang, akan makin cerdas pula. Sementara mereka yang mempunyai IQ dari 90 tergolong lemah mental.  Anak semcam inilah yang banyak mengalami kesulitan belajar, mereka ini akan di golongkan  atas “ debil, Embisil, dan idiot golongan, debil, walupun umurnya lebih 25 tahun, kecerdasannya setingkat anak normal berusia 12 tahun, golongan embisil hanya mampu mencapai tingkatan/kecakapan anak normal berusia 3 tahun. Anak yang tergolong lemah mental ini sangat terbatas kecakapannya, karena itu apabila mereka harus menyelesaikan persoalan yang melebihi potensinya, jelas mereka akan tidak mampu dan banyak mengalami kesulitan, oleh karena itu orang tua/pembimbing harus memiliki tingkatIQ anak dengan meminta bantuan seseorang  psikologi agar dapat melayani anak/murid.

3.      Merasa malas untuk mengerjakan tugas
Motivasi sebagai faktor batin berfungsi menimbulkan, mendasari dan mengarahkan perbuatan belajar. Motivasi dapat menentukan baik tidaknya dalam mencapai tujuan sehingga semakin besar motivasinya, akan semakin besar tingkat kesusksesan belajarnya. Seorang yang kuat motivasinya akan semakin giat berusaha dengan gigih, tidak mau menyerah, giat belajar untuk meningkatkan prestasi, atau untuk memecahkan masalah. Sebaliknya, seorang anak yang motovasinya lemah akan tampak acuh, akibatnya banyak mengalami kesulitan belajar.

Layanan dan fungsi layanan yang di gunakan untuk siswa/individu yang mengalami kesulitan belajar, yaitu :
a.       Layanan bimbingan dan pembelajaran
Yaitu layanan bimbingan yang memungkinkan siswa mengembangkan siswa berkenaan dengan sikap kebiasaan belajar yang baik dan cocok.
b.      Fungsi Pencegahan
Bimbingan dan konseling dapat berfungsi sebagai pencegahan, artinya merupakan usaha pencegahan terhadap timbulnya masalah. Dalam hal ini layanan yang diberikan berupa bantuan yang bagi para siswa agar terhindar dari berbagai masalah yang dapat menghambat perkembangannya. Hal tersebut dapat ditempuh melalui program bimbingan yang sistematis sehingga hal-hal yang dapat menghambat seperti; kesulitan belajar.


Selasa, 24 Februari 2015

E BOOK SUNAN ABU DAWUD

disini saya akan membagikan e-book yang berisi tentang hadist dari sunan abu daud, didalamnya terdapat hadits dari sunan abu daud(arabnya) dan terjemahannya, dah males ngetik saya langsung saja download disini

sekian dari saya semoga bermanfaat, "ilmu adalah jendela dunia dan ilmu yang bermanfaat adalah sumber pahala yang tiada hentinya"

MAKALAH PEMIKIRAN PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ABDUH




Pemikiran Pendidikan Islam: Muhammad Abduh
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Filsafat Pendidikan Islam
Dosen Pembimbing : Dr. Toto Suharto, M.Ag.




Disusun Oleh:
Burhanuddin S            (133111174)
Ahmad Sulaiman        (1331111    )
Wahyu Bakti N           (1331111    )

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SURAKARTA
2014
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam catatan sejarah, eksistensi pendidikan Islam telah ada sejak Islam pertama kali diturunkan. Ketika Rasulullah SAW mendapat perintah dari Allah untuk menyebarkan ajaran Islam, maka apa yang dilakukan adalah masuk dalam kategori pendidikan. Karena kepribadian Rasulullah SAW mencerminkan wujud ideal Islam, seorang guru dan pendidik.
Kemudian sejak masa sahabat, tabi’in dan generasi selanjutnya pada masa pendahulu, masa keemasan Islam dan masa pembaharuan banyak bermunculan berbagai pemikiran pendidikan Islam, hal ini salah satunya ditandai dengan banyaknya ulama–ulama Islam yang menulis tentang buku pendidikan dan pengajaran secara mendalam.
Pemikiran pendidikan Islam adalah serangkaian proses kerja akal dan kalbu secara bersungguh-sungguh dalam melihat berbagai persoalan yang ada dalam pendidikan Islam.
Muhammad ‘Abduh adalah tokoh pembaharu yang tidak asing lagi, dunia Islam dan Barat mengakuinya, bahkan pandangannya sering dijadikan rujukan dalam pembahasan ke-Islaman. Ia dilahirkan dalam situasi, dimana dunia Barat gencar-gencarnya melakukan kegiatan ekspansi ke daerah-daerah Islam, termasuk Mesir. Pada masa Muhammad ‘Abduh itu, ada dua golongan ekstrim: mempertahankan tradisi Arab-Islam; dan mengadakan pembaharuan yang murni merujuk pada Barat, sehingga nyaris melupakan nilai-nilai Timur dan Islam.

Muhammad ‘Abduh termotivasi untuk ikut memberikan respons dan mengadakan perbaikan di berbagai bidang, terutama pendidikan. Pendidikan bagi Muhammad ‘Abduh sangatlah penting, sampai-sampai ia memposisikan gurunya lebih "mulia" dari orang tuanya.
Beliau pernah berucap, "Orang tuaku memberikan aku dua orang teman (saudara) hidup: Ali dan Mahrus. Sedangkan guruku Jamaluddin al-Afghani memberikan "teman" hidup: Muhammad SAW., Ibrahim, Musa, Isa, para wali, dan orang-orang suci."

B. Riwayat Hidup Muhammad ‘Abduh 

Nama lengkapnya adalah Muhammad ‘Abduh Hasan Khairullah. Tokoh ini akrab dipanggil dengan sebutan muhammad abduh. Ia dilahirkan di sebuah kampung bernama Mahallat Nasr, Syubra Khit, provinsi Al-Bahirah, Mesir pada tahun 1266 H (1849). Ayahnya berasal dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir, sedangkan ibunya adalah orang Arab, yang menurut riwayat, silsilah ibunya sampai pada Umar bin Khattab ra.[1]
Pendidikan Muhammad ‘Abduh di mulai dengan belajar menulis dan membaca di rumah.Setelah beliau hapal kitab suci Al-qur’an pada tahun 1863 ayahnya mengirimnya ke Thamta untuk meluruskan bacaan dan tajwid di masjid al-Ahmadi. Namun karena metode pelajaran tidak sesuai yang diberikan gurunya seperti membiasakan menghapal istilah nahwu atau fiqh akhirnya Muhammad ‘Abduh kembali ke Mahallat Nasr dengan tekad tidak akan kembali lagi belajar. Tentang pengalamannya ini ‘Abduh menceritakan: “Satu setengah tahun saya belajar di mesjid Syeikh Ahmad dengan tak mengerti suatu apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah. Guru-guru mulai mengajak  kita untuk menghapal istilah-istilah tentang nahwu dan fiqh yang tak kita ketahui artinya, guru tak merasa penting apa kita meengetahui atau tidak mengerti istilah-istilah itu.” Inilah salah satu yang melatarbelakangi ‘Abduh ingin mengadakan pembaruan dalam bidang pendidikan.
Sayyid Qutub mengambarkan situasi dan kondisi masyarakat tempat Muhammad ‘Abduh hidup sebagai masyarakat yang kaku, beku, menutup rapat-rapat pintu ijtihad serta mengabaikan peranan akal dalam memahami syari'at. Sementara, di Eropa khususnya, kehidupan masyarakat sangat mendewakan akal, terlebih setelah penemuan-penemuan ilmiah yang sangat mengagumkan ketika itu.
Tahun 1866 ‘Abduh meninggalkan isteri dan keluarganya menuju Kairo untuk belajar di Al-Azhar. Tiga tahun kemudian, ketika Jamaluddin al-Afghani datang ke Mesir tahun 1871 M, Muhammad ‘Abduh giat belajar dan mendengar segala ide pembaharuan darinya. ‘Abduh mulai memperluas studinya sampai meliputi ilmu filsafat dan ilmu sosial serta politik. Afghani adalah seseorang yang aktif memberikan dorongan kepada murid-murid untuk menghadapi intervensi Eropa di negeri mereka dan pentingnya melihat umat Islam sebagai umat yang satu. ‘Abduh memutar jalur hidupnya dari tasawuf yang bersifat pantang dunia , lalu memasuki dunia aktivisme sosio-politik.
            ‘Abduh menyelesaikan studinya pada tahun 1877, dan mengajar pertama kali di Al-Azhar. Puncak karir Muhammad ‘Abduh dalam pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan adalah ketika ia ditugaskan menjadi seorang mufti pertama Mesir. Posisi ini diperolehnya pada 03 Juni 1899 M. 
Beliau meninggal pada tanggal 11 Juli 1905. Banyaknya orang yang memberikan hormat di Kairo dan Alexandria, membuktikan betapa besar penghormatan orang kepada dirinya. Meskipun ‘Abduh mendapat serangan sengit karena pandangan dan tindakannya yang reformatif, namun Mesir dan Islam merasa kehilangan atas meninggalnya seorang pemimpin yang terkenal lemah lembut dan mendalam spiritualnya.





















BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MUHAMMAD ‘ABDUH

Mayoritas peneliti sepakat bahwa Muhamamd Abduh adalah seorang reformis atau pembaharu pendidikan Islam. Sebagai seorang reformis, Muhammad ‘Abduh memandang bahwa pendidikan merupakan elemen penting bagi masyarakat Islam untuk kembali mendapatkan martabat yang telah lama hilang. Muhammad ‘Abduh ingin berperan di dalam kebangkitan peradaban umat yang tengah dihantam oleh badai keterbelakangan. Ia melihat bahwa jalan menuju itu adalah “pendidikan”, tetapi bukan setiap pendidikan, melainkan pendidikan yang berasaskan referensi keagamaan Islam.


A.    Latar belakang pemikiran pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh

1.      Kemunduran Islam
Muhammad ‘Abduh berpandangan bahwa penyakit yang melanda negara-negara Islam adalah adanya kerancuan pemikiran agama di kalangan umat Islam sebagai konsekuensi datangnya peradaban Barat dan adanya tuntutan dunia Islam modern. Selama beberapa abad di masa silam, kaum Muslimin telah menghadapi kemunduran dan umat Islam tidak mendapatkan dirinya siap sedia untuk menghadapi situasi yang kritis ini.
Menurutnya, yang membawa kemunduran umat Islam adalah bukan karena ajaran Islam itu sendiri, melainkan adanya sikap jumud di tubuh umat Islam. Jumud yaitu keadaan membeku/statis, sehingga umat tidak mau menerima perubahan, yang dengannya membawa bibit kepada kemunduran umat saat ini (al-Jumud ‘illatun tazawwul). Seperti dikemukakan ‘Abduh dalam al-Islam baina al-’Ilm wa al-Madaniyyah, ia menerangkan bahwa sikap jumud dibawa ke tubuh Islam oleh orang-orang yang bukan Arab, yang merampas puncak kekuasaan politik di dunia Islam. Mereka juga membawa faham animisme, tidak mementingkan pemakaian akal, jahil dan tidak kenal ilmu pengetahuan. Rakyat harus dibutakan dalam hal ilmu pengetahuan agar tetap bodoh dan tunduk pada pemerintah. Keadaan seperti ini, menurutnya adalah bid’ah. Masuknya bid’ah ke dalam tubuh Islam-lah yang membawa umat lepas dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Untuk menyelesaikan masalah ini, ‘Abduh, sebagaimana Abdul Wahhab, berusaha mengembalikan umat seperti pada masa salaf, yaitu di zaman sahabat dan ulama-ulama besar. Namun, yang membedakan faham ‘Abduh dengan Abdul Wahhab adalah umat tidak cukup hanya kembali kepada ajaran-ajaran asli itu saja, tetapi ajaran-ajaran itu juga mesti disesuaikan dengan keadaan modern sekarang ini.

2.      Orientasi pembaharuan pendidikan ala Barat
Kontak kebudayaan antara Mesir dan kebudayaan yang dibawa oleh Napoleon Bonaparte menimbulkan kesadaraan umat Islam bahwa mereka telah tertinggal jauh dari Eropa. Kesadaran ini menimbulkan berbagai pergerakan pembaharuan dari kalangan umat Islam, salah satu pelopornya adalah Muhammad Ali Pasya.
Setelah Muhammad Ali menjadi penguasa tunggal di Mesir, ia tidak mengalami kesukaran dalam merealisasikan konsep pembaharuannya, terutama di bidang pendidikan. Sebagai penguasa Mesir, ia mengirim orang-orang Mesir untuk menuntut ilmu ke Eropa, terutama ke Paris. Sementara di Kairo sendiri, didirikan sekolah-sekolah modern, seperti sekolah militer, teknik, kedokteran, apoteker, pertanian, dll. Sekolah-sekolah yang didirikan Muhammad Ali ini berorentasi pada pendidikan Barat, dan jauh dari ruh Islam, karena mengenyampingkan pendidikan Islam. Sementara di Al-Azhar, sebagai benteng pendidikan ke-Islaman, terus bersikeras pada corak tradisionalnya. Realitas ini menyebabkan adanya dualisme pendidikan di Mesir.
Pembaharuan dalam bidang pendidikan yang juga menjadi prioritas utama Muhammad Ali, berorientasi pada pendidikan barat. Ia mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran barat, dari pembaharuan dalam bidang pendidikan tersebut mewariskan dua tipe pendidikan pada abad ke 20. Tipe pertama sekolah tradisional. Tipe kedua, sekolah-sekolah modern yang didirikan oleh pemerintah Mesir oleh para misionaris asing. Kedua tipe lembaga pendidikan tidak mempunyai hubungan sama sekali dan masing-masing berdiri sendiri. Adanya dua tipe pendidikan tersebut juga berdampak kepada munculnya dua kelas sosial dengan motivasi yang berbeda. Tipe yang pertama melahirkan para ulama dam tokoh masyarakat yang mempertahankan tradisi, sedangkan tipe sekolah kedua melahirkan kelas elit generasi muda yang mendewakan dan menerima perkembangan dari barat tanpa melakukan filterisasi.

B.     Pembaharuan pendidikan Islam Muhammad ‘Abduh
Salah satu proyek terbesar Muhammad ‘Abduh dalam gerakannya sebagai seorang tokoh pembaharu sepanjang hayatnya adalah pembaharuan dalam bidang pendidikan. 
Muhammad ‘Abduh melihat adanya segi-segi negatif bentuk pemikiran yang muncul dan ia mengkritik kedua corak lembaga pendidikan yang berkembang di Mesir saat itu. ‘Abduh memandang bahwa jika pola fikir yang pertama tetap di pertahankan maka akan mengakibatkan umat Islam tertinggal jauh dan semakin terdesak oleh arus kehidupan modern. Sementara pola fikir yang kedua, Muhammad ‘Abduh melihat bahwa pemikiran modern yang mereka serap dari barat tanpa nilai “religius” merupakan bahaya yang mengancam sendi agama dan moral. Maka muncul Ide untuk menyelaraskan atau memperkecil dualisme pendidikan ini. Ia berupaya untuk menjadikan dua pola pendidikan tersebut dapat saling menopang demi untuk mencapai suatu kemajuan serta upaya untuk mempersempit jurang pemisah antara dua lembaga pendidikan yang kelak akan melahirkan para generasi penerus.
Dalam upayanya membenahi sitem pendidikan terutama di Mesir, Muhammad ‘Abduh mengadopsi pemikiran teman sekaligus mentornya Jamaluddin Al-Afghani. Ia cenderung menggunakan metode –metode yang didasarkan pada filsafat rasionalis. Pendidikan agama yang berkaitan dengan tauhid dijelaskan dengan menggunakan pendekatan nalar, seperti yang diperolehnya dari Al-Afghani. Hal ini berbeda jauh dengan metode yang sudah mapan dilakukan di Mesir yaitu metode hafalan.
Muhammad ‘Abduh juga tidak segan-segan memasukkan materi pendidikan Barat dalam kurikulum dipadukan dengan pendidikan Islam. Sebagai contoh ; ia memasukkan pelajaran Sejarah Kemajuan Eropa dan Prancis karangan Guizot. Pembaharuan yang dilakukan Muhammad ‘Abduh dalam kurikulum Al-Azhar diniatkan sebagai contoh bagi perguruan Islam lain di dunia sebab Al-Azhar adalah lambang pendidikan dunia Islam
Gibb melalui Modern Trends in Islam menjelaskan bahwa menurut Muhammad ‘Abduh ada empat agenda pembaruan, terutama di bidang pendidikan Islam, yaitu:
1.    Purifikasi : Pemurnian ajaran Islam mendapat perhatian serius dari Muhammad ‘Abduh berkaitan dengan munculnya bid'ah dan khurafat yang masuk dalam kehidupan beragama kaum muslim.
2.    Reformasi : Muhammad ‘Abduh, dalam mereformasi pendidikan tinggi Islam terkonsentrasi pada universitas almamaternya, Al-Azhar. Ia menyatakan bahwa kewajiban belajar itu tidak hanya mempelajari buku-buku klasik berbahasa Arab yang berisi dogma ilmu agama untuk membela Islam. Akan tetapi, kewajiban belajar juga terletak pada mempelajari sains-sains modern, serta sejarah dan agama Eropa, agar diketahui sebab-sebab kemajuan yang telah mereka capai.
Nurcholish Majid menjelaskan bahwa usaha awal reformasi Muhammad ‘Abduh adalah memperjuangkan mata kuliah filsafat agar diajarkan di Al-Azhar. Dengan belajar filsafat, semangat intelektualisme Islam yang hilang diharapkan dapat hidup kembali.
3.      Pembelaan Islam: Muhammad ‘Abduh, melalui Risalah Tauhid-nya tetap mempertahankan jati diri Islam. Usahanya untuk menghilangkan unsur-unsur asing merupakan bukti bahwa ia tetap yakin dengan kemandirian Islam. Abduh, terlihat tidak pernah menaruh perhatian pada paham-paham ateis atau anti agama yang marak di Eropa. Ia lebih tertarik untuk memperhatikan serangan-serangan terhadap Islam dari sudut keilmuan.
4.      Reformulasi : Agenda ini dilaksanakan Abduh dengan membuka kembali pintu ijtihad. Karena menurutnya, kemunduran umat Islam disebabkan dua faktor: eksternal dan internal, yakni kejumudan umat Islam sendiri. Abduh dengan refomulasinya menegaskan bahwa Islam telah membangkitkan akal pikiran manusia dari tidur panjangnya, sebenarnya manusia tercipta dalam keadaan tidak terkekang, termasuk dalam hal berpikir.[2]
Langkah yang ditempuh Muhammad ‘Abduh untuk meminimalisir kesenjangan dualisme pendidikan adalah upaya menyelaraskan dan menyeimbangkan antara porsi pelajaran agama dengan pelajaran umum. Hal ini dilakukan untuk memasukan ilmu-ilmu umum kedalam kurikulum sekolah agama dan memasukan pendidikan agama kedalam kurikulum modern yang didirikan pemerintah sebagai sarana untuk mendidik tenaga-tenaga administrasi, militer, kesehatan, perindustrian. Atas usahanya tersebut, maka didirikanlah suatu lembaga yakni “Majlis Pendidikan Tinggi”.
Dalam pandangan Muhammad ‘Abduh, Islam adalah agama yang rasional. Dengan membuka pintu ijtihad, kebangunan akal akan dapat ditingkatkan. Ilmu pengetahuan harus dimajukan di kalangan rakyat hingga mereka dapat berlomba dengan masyarakat Barat. Karena jika Islam ditafsirkan sebaik-baiknya dan difahami secara benar, tidak satu pun dalam ajaran Islam yang bertentangan dengan ilmu pengetahuan
C.    Corak Pemikiran Muhammad Abduh
1.      Moderenisasi
Sebagaimana yang telah disinggung pada latar belakang pemikiran Muhammad Abduh, bahwa semenjak perjumpaannya dengan Al- Afgani, Abduh berusaha mengadakan penyesuaian ajaran Islam dengan tuntutan zaman, seperti penyesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Gagasan penyesuaian inilah kemudian disebut dengan moderniasasi. Sumber dari gagasan moderenisasi Abduh tersebut bersumber dari penentangannya terhadap taqlid. Menurut Muhammad Abduh, Al-Qur’an  memerintahkan kepada ummatnya untuk menggunakan akal sehat mereka, serta melarangnya mengikuti pendapat-pendapat terdahulu tanpa mengikuti secara pasti hujah-hujah yang menguatkan pendapat tersebut, walaupun pendapat itu dikemukakan oleh orang yang seyogyanya paling dihormati dan dipercaya. Abduh menetapkan tiga hal yang menjadi kritrea perbuatan taqlid ini, ketiga kriteria tersebut adalah:
a.       Sangat mengagung-agungkan para leluhur dan para guru mereka secara berlebihan.
b.      Mengiktikadkan agungnya pemuka-pemuka agama yang silam, seolah-olah telah mencapai kesempurnaan.
c.       Takut dibenci orang dan dikritik bila ia melepaskan fikirannya serta melatih dirinya untuk berpegang kepada apa yang dianggap benar secara mutlak.
Berdasarkan pada pandangan tersebut, Abduh memahami Alqur’an, terutama yang berkaitan denga kecaman terhadap sikap dan perbuatan taqlid tersebut, walaupun menyangkut sikap kaum musrikin. Selanjutnya ia mengecam kaum muslimin, khususnya yang berpengetahuan yang mengikuti pendapat ulama-ulama terdahulu tanpa memperhatikan hujahnya.
Berkaitan dengan modernisasi ini, Rahman memberikan pernyataan bahwa seorang modernis biasanya memiliki beberapa ciri, diantaranya selalu berusaha menghadapi segala situasi dengan penuh keyakinan serta keberanian, dan gerakannya bersifat kerakyatan, serta senantiasa melibatkan pemikiran pribadi. Kemudian kaum modernis yang telah menjadikan reformasi sebagai tolak ukurnya adalah mereka yang berusaha menciptakan ikatan-ikatan positif antara pemikiran Qur’ani dengan pemikiran modern.[3] Perpaduan antara kedua pemikiran ini telah melahirkan beberapa lembaga sosial dan moral modern dengan berorientasi pada Alqur’an.
Muhammad Abduh menyikapi peradaban Barat modern dengan selektif dan kritis. Dia senantiasa menggunakan prinsip ijtihad sebagai metode utama untuk meretas kebekuan pemikiran kaum muslimin. Abduh tidak pernah berfikir, apalagi berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat. Karena ia beranggapan apa bila itu dilakukan berarti mengubah taqlid yang lama dengan taqlid yang baru, juga karena hal tersebut tidak akan berguna, disebabkan adanya perbedaan-perbedaan pemikiran dan struktur sosial masyarakat masing-masing daerah. Islam menurut Abduh “harus mampu meluruskan kepincangan-kepincangan perbedaan barat serta membersihkan dari segi-segi negatif yang menyertainya. Dengan demikian, perbedaan tersebut pada akhirnya, akan menjadi pendukung terkuat ajaran Islam, sesaat setelah ia mengenalnya dan dikenal oleh pemeluk-pemeluk Islam.
2.      Reformis
Muhammad Abduh Adalah seorang pembaharu yang corak pembaharuannya bersifat reformistik-rekonsturktif. Ini dikarenakan Muhammad Abduh senantiasa melihat tradisi dengan perpektif membangun kembali. Agar tradisi suatu masyarakat dapat survive dan terus diterima, ia harus dibangun kembali. Pembangunan kembali ini tentunya dengan kerangka modern dan prasyarat rasional. Pemikiran pembaharuan yang bercorak reformistik dalam bentuknya yang pertama secara filosofis. [4]
3.      Konservatif
Gerakan pembaharuan yang diinagurasikan Muhammad Abduh bersifat konservatif, hal ini terlihat dari sikap Muhammad Abduh yang tidak bermaksud mengubah potret diri Islam. Risalah Tauhid merupakan bukti dari pemikiran ini. Muhammad Abduh dalam karya ini berupaya menegaskan kembali potret diri Islam yang telah mencapai finalitas dan keunggulan.[5]
Demikianlah muncul ke permukaan ketiga tipologi pemikiran, yaitu modernis, reformis, konservatif, yang dilontarkan berkaitan dengan pembaharuan yang dilakukan Muhammad Abduh. Ketiganya merupakan refleksi dalam membaca segala pemikiran Muhammad Abduh. Dalam pembacaan itu corak pertama lebih menekankan pada aspek slektifitas dan sikap kritis Muhammad Abduh dalam menyikapi dan memandang peradaban barat. Corak kedua lebih menekankan kepada upaya Muhammad Abduh dalam membangun kembali tradisi Islam secara rekonstruktif. Sedangkan corak yang ketiga memfokuskan bacaannya kepada upaya Muhammad Abduh dalam membela Islam melalui finalitas dan keunggulan Islam.


D.    Kiprah Abduh sebagai ulama’ pendidikan serta Pengaruhnya terhadap ulama al-Azhar.
Sosok Abduh merupakan reformer, keulamaanya tidak bisa diragukan lagi bahkan dari kalangan intelektual kontemporer dikenal dengan sebutan ulama modernis.Salah satu karakteristiknya, dia berani menolak adanya dikotomi ilmu pengetahuan. Hal ini sesuai dengan asumsi bahwa Muhammad Abduh tidak menolak sistem yang ditawarkan oleh sistem pendidikan barat untuk dijadikan mata rantai kurikulum yang diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan tinggi islam.
Pemikiran Muhammad Abduh sesuai dengan sistem pendidikan pada saat itu, mewariskan dua tipe pendidikan.Tipe pertama pendidikan formal yang diwujudakan dalam seperangkat kurikulum mulai dari tingkat dasar sampai ke tingkat atas. Kurikulum tersebut ialah:
1)      Kurikulum al-Azhar
Kurikulum perguruan tinggi al-Azhar disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat pada saat itu. Dalam hal ini, ia memasukkan ilmu filsafat, logika, dan ilmu pengetahuan modern ke dalam kurikulum al-Azhar. Upaya ini dilakukan agar output-nya dapat menjadi ulama modern.
2)      Tingkat sekolah dasar
Abduh beranggapan bahwa dasar pembentukan jiwa hendaknya dimulai semenjak kanak-kanak. Dengan memasukkan mata pelajaran agama sebagai inti semua pelajaran yang nantinya dapat memiliki jiwa kepribadian muslim. Jiwa kebersamaan dan nasionalisme yang dapat mengembangkan sikap hidup yang lebih baik, serta dapat meraih kemajuan.
3)      Tingkat atas
Upaya ini dilakukan dengan mendirikan sekolah menengah pemerintah untuk menghasilkan ahli dalam berbagai lapangan administrasi, militer, kesehatan, perindustrian, dan sebagainya.

Ketiga paket di atas, merupakan gambaran umum dari kurikulum pelajaran agama yang diberikan dalam setiap tingkat.Dalam hal ini Muhammad Abduh tidak memasukkan ilmu-ilmu barat ke dalam kurikulum yang direncanakan. Dengan demikia dalam bidang pendidikan formal muhammad Abduh menekankan pemberian pengetahuan yang pokok, yaitu fikih, sejarah islam, akhlak, dan bahasa. 
Dalam pendidikan non formal Muhammad Abduh menekankan terhadap usaha perbaikan (ishlah). Dengan proses pengajaran dan media massa. Ide tersebut di antaranya:
a.       Mewujudkan mata pelajaran matematika, geometri, algebra, geografi, sejarah dan seni khat.
b.      Mewujudkan piawaian dalam penganugerahan sijil.
c.       Mewujudkan farmasi khusus untuk pelajar Universitas al-Azhar
d.      Menyediakan peruntukan gaji guru dari perbendaharaan negara dan waqaf negara.
Dalam bidang metode pembelajarannya, ia membawa cara baru dalam dunia pendidikan pada saat itu. Yaitu metode diskusi yang bertujuan memberikan pengertian yang mendalam pada peserta didiknya serta kegiatan mengajar yang menekankan pada metode yang berprinsip atas kemampuan rasio dalam memahami ajaran Islam dari sumbernya yaitu al-Qur’an dan al-Hadits, sebagai ganti metode verbalisme (menghapal). Sering pula mengajarkan bahasa Arab dengan metode demonstrasi tentang cara-cara menulis huruf  Arab dengan jelas dan sederhana.
Menekankan pentingnya pemberian pengertian dalam setiap pelajaran yang diberikan. Ia memperingatkan para pendidik untuk tidak mengajar peserta didik dengan metode menghafal, karena metode demikian hanya merusak daya nalar, seperti yang dialami di sekolah farmasi di masjid Ahmadi di Thanta. Semuanya, harus punya dasar membaca, menulis, berhitung dan harus mendapatkan pendidikan Agama. Dengan demikian, upaya yang dilakukan untuk Al-Azhar meliputi: 1) Membentuk dewan pimpinan al-Azhar yang terdiri dari ulama besar dari empat madzhab, 2) Menertibkan administrasi al-Azhar dengan menentukan honor yang layak bagi pengajar, membangun ruang khusus untuk rektor dan mengangkat para pembantu rektor, dan 3) Masa belajar diperpanjang dan masa libur diperpendek.
Bertolak dari posisi ulama pendidikan, Abduh memiliki signifikasi pengaruh besar terhadap ulama-ulama al-Azhar khususnya, para ulama atau calon para ulama institusi al-Azhar. Hal ini dibuktikan dengan beberapa kitab yang pernah ia karang seperti Tafsir al-Manar dan juga aktif  menyumbangkan gagasannya lewat berbagai majalah dan surat kabar, seperti al-Ahram (paris), al-Waqaiq al-Misriyah (mesir), dan masih banyak lagi karangan beliau yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Dari berbagai hasil produk tinta emas (karya dalam bentuk buku) dan sejumlah majalah dan surat kabar, baik dalam negeri maupun luar negeri, secara bertahap dia menghasilkan peta perubahan kondisi mesir, baik pemikiran para ulama-nya maupun para calon ulama-nya di al-Azhar.




BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Muhammad ‘Abduh adalah sosok pembaharu Islam abad 19 / 20 yang mengusung rasionalitas dalam beragama. Beliau ingin menghilangkan kejumudan dalam pendidikan dengan mendidik akal dan jiwa dengan harapan akan ada keseimbangan dalam hidup dan mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Di samping hidup berwibawa dengan akal yang cerdas, umat Islam juga berperilaku baik yang sesuai dengan ajaran syari'at. Untuk mencapai tujuan demikian, maka ia menggagas kurikulum berbasis sains dan falsafah yang banyak menggunakan akal, dan tanpa meninggalkan pelajaran-pelajaran yang bersifat agamis.

Pemikiran Muhammad ‘Abduh tentang pendidikan dinilai telah memberikan pengaruh positif terhadap lembaga pendididkan Islam sehingga dianggap sebagai awal dari kebangkitan Pendidikan Islam diawal abad ke-20.




DAFTAR PUSTAKA
1.   Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), Cet. IX,
2.  Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam (yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2014), Cet. 1
3.  Suwito dan Fauzan.2003 Sejarah Pemikiran Para Tokoh Pendidikan. Bandung: Angkasa
4.  Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006),


[1]  Toto suharto, Filsafat Pendidikan Islam, Hlm. 215
[2] Toto Suharto, Filsafat pendidikan Islam, Hlm. 226-230
[3] Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Arruzz, 2006), hal. 258
[4] Ibid, Hlm.265
[5] Ibid, Hlm. 266